Rabu, 29 Juni 2016

Renungan Part 65 (Less Is More)

images.fastcompany.com
Sejak kecil kita didoktrin bahwa lebih banyak itu lebih baik. Uang yang lebih banyak, rumah yang lebih besar, mobil yang lebih banyak, dan lebih lebih lainnya. Disamping itu, masyarakat kita sekarang adalah pemuja barang, kita meletakan kebahagiaan dalam kegiatan konsumsi barang. Smartphone keluaran terbaru harus dibeli demi alasan tren, mobil atau motor terbaru pun sama, dan banyak barang lainnya yang kita konsumsi bukan karena kebutuhan, tapi karena gaya. Lalu, apakah dua hal tadi memang membantu kita mendapatkan kebahagiaan?
Ada sebuah gerakan di Amerika yang sedang berkembang saat ini, yaitu gerakan rumah mungil atau Tiny Home. Gerakan ini melawan arus utama perumahan Amerika yang mana memiliki luas yang besar dan dipenuhi furnitur serta barang-barang lainnya. Bahkan lemari penyimpanan pakaian saja bisa berupa satu kamar, ya.... kamar yang berfungsi sebagai lemari. Bisa dibayangkan berapa banyak pakaiannya. Tiny Home ini berupa kebalikannya, biasanya dibangun di atas trailer, sehingga rumah ini bisa ditarik truk dan dipindahkan sesuka hati pemiliknya.






Beberapa contoh rumah mungil
                                                                                                       

                     







interior rumah mungil

Seperti bisa dilihat di gambar, rumah mungil bukan berarti rumah yang jelek, karena umumnya interiornya sangat modern, bahkan banyak yang memakai pembangkit tenaga surya demi kemandirian listrik. Lalu toilet yang umum digunakan adalah composting toilet, dimana kotoran kita diolah menjadi kompos. Dan walau mungil, banyak yang tinggal di rumah tersebut sebagai keluarga; suami, istri, dan satu anak tentunya. Gerakan ini makin disukai terutama karena biaya pembuatannya yang terbilang murah, lebih murah dari DP kredit rumah yang makin mahal di Amerika. Tapi ternyata, hidup di rumah mungil memiliki filosofi lebih dalam dari sekedar biaya murah.

Pertama, rumah mungil meningkatkan komunikasi antar penghuninya. Ruang yang terbatas membuat privasi diri semakin kecil, dan komunikasi antar penghuni semakin intens. Berbeda dengan rumah besar dimana penghuni bisa tidak saling bertemu, dan kualitas komunikasi semakin buruk. Maka keharmonisan pasangan bisa terjalin kuat dalam sebuah rumah mungil.
Kemudian, pelajaran yang paling utama adalah rumah mungil mengajarkan penghuninya untuk memiliki sesuatu secukupnya dan seperlunya. Ruang yang terbatas, membuat penghuni tidak bisa sembarang membeli barang karena tidak ada tempat untuk menyimpannya. Hal ini mengajarkan kesederhanaan, yang telah lama hilang dalam masyarakat Amerika yang senang mengkonsumsi barang, bahkan mereka sampai menyewa jasa penyimpanan untuk menaruh barang-barang mereka yang tidak muat di rumah yang sudah besar itu. Dalam rumah mungil kita diajarkan untuk berkata cukup, mensyukuri benda yang sudah kita miliki dan hanya membeli seperlunya, sebuah kebiasaan yang kini mulai pudar.

Berdasarkan pengalaman mereka yang tinggal di rumah mungil (bisa dilihat di sini salah satunya), hidup dalam kesederhanaan rumah mungil justru memberikan kebahagiaan yang tidak didapat dari gaya hidup Amerika pada umumnya yang selalu ingin lebih dan mengumpulkan benda sebanyak-banyaknya. Bagaimanapun, nafsu untuk lebih dan lebih tidak akan terpuaskan, justru dengan bersyukur hati menjadi tenang dan bahagia. Bukankah itu yang Al-Quran ajarkan? Aku rasa sebagai muslim, rumah mungil adalah rumah syar'i karena dapat membuat penghuninya bersyukur, hemat, dan hidup dalam kesederhanaan sebagaimana dianjurkan oleh Islam. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar