Minggu, 19 April 2015

Renungan Part 33 (Cantik Itu Luka: Cerita Cinta Di Atas Logika)


"Lantas siapa lelaki yang kau sukai dan kau inginkan jadi suamimu?"
"Aku tak menyukai siapapun," kata si Cantik. "Jika aku harus kawin, maka aku kawin dengan pemerkosaku."
"Katakan padaku, Siapa?" Tanya ibunya lagi.
"Aku akan kawin dengan anjing."  

(Cantik Itu Luka, hal. 396)




Cantik Itu Luka adalah novel karya penulis Eka Setiawan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2002, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Malaysia. Mengisahkan perjalanan hidup seorang Gadis keturunan Belanda yang sangat Cantik Jelita bernama Dewi Ayu, yang dipaksa menjadi pelacur ketika Jepang merebut Indonesia dari Belanda. Di akhir masa kolonialisme, Dewi Ayu memutuskan untuk tetap menjadi pelacur hingga melahirkan tiga anak yang kesemuanya cantik jelita. Anak pertama adalah Alamanda, walau tidak jelas siapa bapaknya, matanya yang sipit menandakan bahwa jelas ia terlahir dari benih salah satu tentara Jepang yang menidurinya. Anak kedua adalah Adinda, yang sangat mirip dengan ibunya. Sedangkan yang ketiga, merupakan yang paling cantik dari semuanya, bernama Maya Dewi. Tragedi yang dialami ketiga anaknya meyakinkan Dewi Ayu bahwa kutukan dari dosa leluhurnya masih setia mengikuti dirinya dan keturunannya. Hingga ketika Dewi Ayu hamil untuk keempat kalinya, dan setelah segala cara dilakukan untuk menggugurkannya tidak berhasil, dia berdoa agar anak keempatnya memiliki wajah buruk rupa. Itulah yang terjadi, meski secara ironik, dinamai Cantik.

Membaca Cantik Itu Luka seakan dibawa berputar-putar, karena plotnya yang maju mundur dengan banyak tokoh yang menjadi pusat perhatian, Tapi disitulah keunikannya menurutku, plotnya menjadi daya tarik sendiri karena tidak membosankan. Penulis menutup cerita dengan sebuah twist yang sangat mengejutkan, dan berbeda dari karyanya "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", yang menurutku tidak memberikan kesan mendalam di akhir cerita, kalimat terakhir di "Cantik itu Luka" tertanam begitu dalam dalam kepala, dan terus berkembang memberikan imajinasi, pemahaman, dan tafsiran baru akan makna, dan pesannya. Meminjam gaya bercerita Eka Kurniawan: "buku tersebut seakan memberikan kenikmatan orgasme berkelanjutan, dan semakin lama semakin terasa nikmat, walau persetubuhan telah selesai beberapa jam yang lalu." 

Setelah membaca beberapa komentar di internet tentang buku ini, ada beberapa yang merasa risih dengan gaya bercerita Eka, karena begitu vulgar walau bukan porno. Dan beberapa merasa tidak kuat mental membacanya. Menurutku memang benar, jadi pembaca harus menyiapkan mentalnya sebelum mulai membaca. Di samping itu, menurutku Eka berhasil mengajariku apa itu komunisme lewat tokohnya Kamerad Kliwon, dan dengan cermatnya menggabungkan pesan-pesan sosial dengan kisah percintaan para tokoh utama.  Bagi penyuka cerita yang logis, mungkin novel ini bukan untuk mereka. Ini adalah novel surealis yang dipenuhi takhayul serta legenda. Sebuah cerita fantasi tapi dibalut sejarah dan memiliki pesan nilai yang mendalam. 

Menurutku, novel ini adalah novel yang sangat patut untuk dibaca, ia bagai sebuah oase dari tema novel tentang keberhasilan seseorang mencapai kesuksesan dari nol, novel tentang pejuang agama, atau novel tentang kehidupan remaja yang begitu-begitu saja.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar