Selasa, 21 April 2015

Renungan Part 34 (Bumi Manusia: rasisme dan Inferioritas Inlander)

“Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia adalah anak kebudayaan, 
  bukan batu dari langit.”

(Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)





Bumi Manusia merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, pertama kali terbit di tahun 1980. Pada Tahun 1981, buku ini dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan mempropagandakan aliran marxisme-leninisme dan komunisme (benarkah? sejauh yang saya ketahui, tidak ada propaganda tentang hal itu di novel ini, mungkin pemahaman saya sendiri tentang komunisme yang masih terbatas sehingga tidak tahu, tapi sepertinya tuduhan itu hanya karena Pram adalah dulunya anggota Lekra, organisasi kebudayaan sayap kiri di masa orde lama, menurut saya keputusan itu murni politik). Sampai sekarang, novel tersebut telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, dan telah mendapatkan berbagai macam penghargaan. Novel yang bersettingkan masa kolonialisme pada tahun 1898 sampai 1918 ini bercerita tentang seorang Pribumi bernama Minke (unik? memang... bahkan sejarah nama itu lebih unik lagi). Minke adalah seorang pelajar HBS (singkatan dari Hoogere Burgerschool, sekolah setingkat SMP sampai SMA), pada masa itu yang diperbolehkan sekolah hanyalah anak-anak keturuan Eropa, dan pribumi keturunan pejabat atau bangsawan. Perkenalannya dengan seorang nyai (wanita pribumi yang menjadi gundik orang eropa) membawanya pada pengalaman-pengalaman yang menantang semua yang telah dipelajarinya tentang kebudayaan eropa yang sangat ia banggakan, sebagai seorang yang terpelajar.

Dalam novel ini digambarkan bagaimana rasisme para orang belanda yang memandang rendah orang pribumi, yang bahkan disamakan dengan monyet. semua yang berasal dari eropa adalah bagus dan maju, mereka adalah manusia modern. sementara pribumi adalah kumpulan monyet yang terbelakang, berotak udang, sungguh tidak berharga, bahkan hukum belanda pun tidak mengakui seorang nyai sebagai ibu dari anaknya sendiri yang memiliki darah eropa dari ayahnya, dan tidak pula mengakui seorang suami, yang merupakan pribumi, dari istrinya yang keturunan eropa. semua yang berkulit putih, mancung, dan memiliki darah eropa di tubuhnya diperlakukan spesial, dilindungi hukum, diberi hak lebih dari para pribumi. Begitulah keadaan di zaman itu, dan pemikiran itu cukup tertenam kuat di kepala pribumi. Buktinya, bukan rahasia umum sekarang kita lebih menyukai hal-hal yang berbau luar negeri, jalan-jalan ke luar negeri, belanja di luar negeri, wanita cantik itu putih (warna kulit asli orang indonesia bukan putih), sekolah di luar negeri, guru bule itu lebih baik dari guru lokal, sedih ternyata kita masih terjajah oleh pandangan bangsa terjajah (atau memang kita sebenarnya masih terjajah?).

Tapi Minke mengajarkan bahwa penajajahan harus dilawan, walau kau tahu tidak mungkin menang, karena "dengan melawan kita tidak sepenuhnya kalah" (Pramoedya Ananta Toer). Sebagai seorang terpelajar, minke memiliki kewajiban untuk menjadi adil dalam pikiran dan perbuatan. Seorang terpelajar harus bersetia pada hati nurani. Keadilan dan hati nuraninya terusik oleh perampasan hak-hak pribumi oleh para orang Eropa yang mengajarkan dia tentang keadilan dan peradaban manusia maju. Ironis, seironis manusia terpelajar di zaman sekarang yang tidak adil dalam pikiran dan perbuatan, hakim yang disuap sehingga memutuskan dengan tidak adil contohnya. seironis manusia terpelajar zaman sekarang yang tidak setia pada hati nuraninya, para koruptor yang telah kehilangan nurani contohnya. 

Bagiku, novel ini seharusnya menjadi bacaan wajib anak sekolah  dalam mata pelajaran sejarah, walau ini fiksi, setidaknya menggambarkan keadaan masyarakat zaman kolonial yang sedari dulu tidak pernah bisa kubayangkan dengan membaca buku sejarah yang hanya menceritakan tanggal dan nama. ah... kemana saja aku sejak dulu sehingga baru membaca buku ini sekarang? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar