Rabu, 08 Januari 2014

Renungan part 1


Selasa, 30 Juli 2013, saat itu di kosan aku bersama seorang tamu bernama mas abdul karim, beliau adalah teman dari saudaranya teman kosanku….. (agak complicated memang). Dia berniat numpang di kosan bersama saudaranya teman kosanku itu karena harus melakukan serangkaian tes untuk daftar studi S3 di pasca sarjana UIN. Kami pun sedikit berbincang sekedar untuk mencairkan suasana, dan sampailah pada percakapan berikut.
“semester berapa mas toni?” Tanya mas karim.
“sekarang… berarti semester 10 mas hehe…”aku cengengesan.
“wah betah yah di kampus…” sindirnya
“haha iya…. Soalnya lagi seneng dapet ilmu baru…”
“memangnya kalau semakin lama, mata kuliahnya semakin dalem ya mas?”
“oh bukan gitu, kalau kuliah sih dari semester 8 juga udah kelar” jawabku “dapet ilmu barunya dari oranisasi mas…”
“oh… menarik ini” katanya sambil tersenyum, tapi tidak meneruskan kata-katanya.
Kata menarik yang diucapkan beliau memiliki dampak yang sangat besar dalam benakku. Aku pun mulai merenungi jawabanku itu tadi. Beberapa bulan yang lalu ketika orang tuaku pun bertanya kenapa belum lulus aku menjawab
“iya ma… sekarang masih pengen ngegali pengalaman dulu”
beliapun menjawab “ya cari pengalamannya pas udah lulus aja”
“ya gak bisa, kalau udah lulus mah fokus kerja, mana bisa ngegali pengalaman lagi, soalnya cuma ada di kampus”
Yang kumaksud cuma ada di kampus adalah sebuah UKM di kampus UIN.
Kenapa itu dijadikan alibi olehku? aku mulai merenung…………., tapi ternyata, selain karena kemalasan ngerjain skripsi, pemikiran kaku otakku kalau nulis ide harus sudah clear, dan sikap perfeksionis, “pengalaman” atau “ilmu baru” yang kumaksud tadi bukanlah sekedar alibi saja. Ini adalah hasil renunganku atas hal tersebut:
Aku dilahirkan dari keluarga yang tidak terlalu terbuka dalam hal komunikasi. Tidak pernah terjadi sesi curhat di keluargaku, bukti nyata dari semua itu adalah kakunya hubunganku dengan kakakku sendiri. Ketidakpekaanku akan lingkungan sekitar mungkin jadi salah satu bentuk negative dari hubungan yang tidak terbuka dalam keluarga. Aku tidak pernah ditegur karena tidak peka. Ketidakpekaan ini membuatku sulit menempatkan diri pada posisi orang lain, egois, dan sulit memahami perasaan orang lain.
Di sini aku tidak bermaksud menyalahkan orang tua atas kejelakan diriku, sekali lagi kutekankan TIDAK, cuma menggambarkan bahwa sebenarnya sikap seseorang ya bawaan dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Kalau ada yang pernah merasa nada suaraku tinggi ketika bicara  dan tersinggung (padahal tidak ada maksudku menyinggung), itu karena secara tidak sadar aku terpengaruh oleh gaya bicara orang tuaku yang seperti itu (akupun baru sadar setelah di bangku kuliah, tepatnya setelah belajar mata kuliah perkembangan peserta didik). Toh orang tuaku tidak pernah kuliah, wajar kalau mereka tidak paham, dan aku sangat memakluminya.
Anehnya, pengetahuanku akan hal seperti itu, masih belum cukup membuatku bersikap lebih bijak (tetep tidak peka, egois). Aku merasa setelah sekolah dari tk sampai kuliah semester 6 tidak ada kemajuan berarti dalam masalah sikap. Semua itu berubah setelah aku diberi amanah besar di UKM tersebut. Sejak masuk UKM aku sering didoktrin tentang kekeluargaan, dan trust. Tapi tak pernah kurenungkan dalam-dalam sampai amanah itu datang, dan lebih menyesalnya lagi, kesadaran itu muncul justru setelah amanah itu selesai.
Entah bagaimana pendapat orang lain tentang kekeluargaan, tapi dari yang kupahami dengan hatiku, kekeluargaan berarti keadaan dimana saling mengerti. Mengerti dalam hal yang sangat dalam dan tercermin dalam tindakan. Sementara trust bagiku berarti mempercayakan kelemahan kita pada keluarga kita karna kita tahu dia tidak akan menggunakannya untuk menjatuhkan kita tapi justru untuk melengkapi kita. Ada unsur husnuzon dalam pengertian trust yang kupahami. Yang berimplikasi bahwa setiap tindakan keluarga kita, walaupun menyakiti hati kita, adalah murni bermaksud baik, hanya mungkin caranya yang salah, atau kita tidak bisa melihat niat baik itu karena ketidakbijaksanaan kita sendiri, atau ketidakpahaman kita yang mendalam akan dirinya yang berarti belum sepenuhnya kita anggap sebagai keluarga.
Bicara teori memang membingungkan, biar aku berikan contoh sebuah kejadian seminggu yang lalu. Saat itu aku sedang pulang ke sukabumi, aku dan ibuku terlibat perdebatan tentang sepatu. Beliau menanyakan sepatu bekas kakakku yang kubawa ke ciputat, apakah masih ada, aku yang sudah lupa menyangkal pernah bawa sepatu (ternyata sepatunya sudah hilang lama sekali digondol maling di kosan lama). Aku emosi karena aku mengganggap ibuku sepertinya lebih mementingkan sepatu. Akhirnya kami pun bertengkar, ibu pergi ke dapur dan aku termenung di depan tv sambil bersama adikku yang sedang menyetrika (dia juga kena semprot ibuku karena malas menyetrika bajunya sendiri).
Beberapa saat kemudian ibuku lewat seperti kebiasaannya sambil melayangkan komen pedas menyakitkan hati, aku pun membalas “mama tuh kebiasaan, suka ngasih komen sambil lewat gitu, itu tuh salah mah buat ngedidik anak, gak ngefek buat anaknya malah bikin sakit hati” JLEBB!!! Seketika itu aku sadar, aku dapat mengeluarkan kata-kata itu karena aku setidaknya telah kuliah empat tahun, aku sedikitnya paham bagaimana mendidik anak dari teori-teori pendidikan sehingga berkesimpulan bahwa cara ibuku itu salah, tapi bagaimana dengan ibuku? Dia tidak pernah kuliah, pendidikan tertingginya adalah esemka. Sehari-hari kerjanya Cuma mengurus rumah, tidak pernah berkutat dengan buku-buku pendidikan. Mana paham dia masalah psikologi anak, cara mendidik humanis dan lain sebagainya. Aku memiliki posisi sebagai orang yang paham, sedangkan dia tidak. Akupun merasa bersalah. Bagiku ini bentuk konkret memahami keluarga kita.
Aku pun mulai berpikir, sebenarnya apa maksud ibuku mengungkit sepatu itu, aku tidak tahu, tapi aku Cuma bisa berhusnuzon saja, karena dia ibuku dan dia keluargaku yang pastinya paling menyayangiku. Biasanya pertengkaran seperti ini akan berakhir dalam kedongkolan dan tidak pernah ada penyelesaian kecuali oleh waktu, walaupun pemikiran diatas terjadi dalam benakku. Perasaan bersalah pasti muncul tapi cukup disimpan dalam hati saja. Tapi, sebagaimana yang kupahami dari kehidupan di UKM bahwa keharmonisan tidak akan dicapai dengan cukup “diem-dieman saja, menyimpan perasaan dongkol” maka untuk pertama kalinya dalam hidupku sejak aku bisa berpikir sampai saat itu, aku mendatangi ibuku memeluk tangannya dan meminta maaf atas kejadian tadi, aku mencurahkan isi hatiku bahwa aku tadi emosi makanya berkata-kata yang tidak enak hati, dan ternyata alasan dia menanyakan sepatu itu, gara-gara dia melihat sepatuku yang sudah bisa dibilang usang dan merasa prihatin denganku. Dampaknya sungguh luar biasa, dia menangis. Akupun merasa lega karena pertama kalinya aku bisa mematahkan kebekuan komunikasi di keluarga ini.
Kesimpulan dari cerita itu adalah bahwa tindakanku meminta maaf bukanlah hasil belajar ku di sekolah formal. Itu adalah satu perubahan sikap yang menurutku cukup signifikan yang tidak akan pernah dicapai dengan hanya menghafal teori atau rumus suatu ilmu pengetahuan. Itu merupakan hasil dari pendidikan karakter yang kuserap secara tidak langsung dari kehidupanku di UKM. Jadi yang kumaksud dengan ilmu baru atau pengalaman baru adalah perubahan sikap itu. Aku mendapat banyak hal yang berkaitan dengan cara berpikir, cara bersikap, pengambilan keputusan, idealisme, rela berkorban, keberanian, dan lainnya dari UKM, bukan di kelas kuliah. Dan hal-hal seperti ini harus mendapat perhatian lebih besar dalam pendidikan, bukankah esensi pendidikan itu sendiri adalah perubahab sikap? Bukan seberapa tinggi kepintaranmu yang dipresentasikan dengan angka? Jadi dalam pikiranku, seorang mahasiswa yang sukses bukanlah mahasiswa yang cepat lulus, dapet kerja bagus, gaji tinggi, dan setahun kemudian udah bawa mobil. Tapi orang yang setelah lulus telah mengalami perubahan sikap ke arah lebih baik, beridealisme, menginternalisasi nilai-nilai baik yang universal lainnya dan mereka berguna bagi masyarakat sekitarnya.
Jadi jawabanku pada mas karim bukan cuma nyari alesan atau kambing hitam kenapa belum lulus, karena toh aku melakukan hal yang sangat positif dalam waktu perampungan skripsiku ini….. setidaknya renungan ini menjawab pertanyaan orang yang mungkin suatu saat mewawancaraiku “kuliah S1 sampe 5 tahun setengah? Ngapain aja mas?” :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar